e diel, 17 qershor 2007

Buruan Cium Gue


Tulisan yang gue bikin ketika orang-orang yang mengatas-namakan moral turun ke jalan memprotes sebuah JUDUL film. Tulisan waktu gue masih belajar menghafal sembilan jenis lead-feature.





02-09-2004


SPEKTRUM/SENI : SEBENTUK DIALOG TAK BERTEPI TENTANG SENI


Oleh Gusti Nur Cahya Aryani

Masih ingat kasus Inul Daratista yang gaya panggungnya sempat menimbulkan kontroversi sekitar setahun lalu, 2003, karena dinilai melanggar nilai kesopanan?
Saat itu masyarakat Indonesia secara umum terbelah dua, sebagian membela Inul, sedangkan sisanya berada di sisi yang berseberangan. Orang-orang yang pro Inul, berlindung di balik kata-ata "seni".
Menurut mereka, itu adalah hak dari Inul untuk menunjukkan kreativitas dan cita rasa seninya.
Sementara itu sisanya, berpegang pada norma-norma agama dan kesopanan, yang menurut mereka telah dilanggar oleh Inul.
Tarik ulur masalah tersebut memang cukup lama sampai akhirnya kontroversinya "hilang" tanpa penyelesaian yang jelas, tidak diketahui pihak mana yang benar ataupun salah.
Kemudian saat ini, Agustus 2004, publik seakan dibawa kembali ke suasana satu tahun lalu, dengan kontroversi yang sama tetapi dalam kemasan yang berbeda.
Sebuah film remaja, "Buruan Cium Gue" (BCG) tiba-tiba memanen kritik dari banyak kalangan, yang berakhir dengan ditariknya film tersebut dari peredaran.
BCG, bercerita tentang seorang siswa kelas tiga SMA, Desi, yang belum pernah sekali pun berciuman dengan pacarnya, Ardi, walaupun mereka sudah pacaran dua tahun lamanya.
Sesuai dengan judulnya, maka film tersebut juga menampilkan adegan ciuman dari bintang utamanya, Masayu Anastasia dan Henky K Chova.
Sebetulnya bukan sekali ini film Indonesia menampilkan adegan sejenis, tengok saja "Petualangan Sherina", film yang disebut-sebut sebagai pelopor kebangkitan film Indonesia, Derby Romeo yang masih duduk di Sekolah Dasar mencium kening Sherina, lawan mainnya.
Lalu "Ada Apa dengan Cinta", Nicholas Saputra mencium Dian Sastro di bandara dan "Eifel I'm in Love", Samuel Rizal mencium Shandy Aulia, artis belia yang baru kelas tiga SMP.
Budaya Barat ini sudah lama masuk ke Indonesia dan mencapai puncaknya dalam film BCG, karena secara nyata dicantumkan pada judul film.
Itulah alasan mengapa Abdullah Gymnastiar yang lebih dikenal dengan sebutan A'a Gym sampai mengatakan bahwa judul film tersebut lebih tepat, "Buruan Zinahi Gue".
Pemimpin Daarut Tauhid, Bandung, tersebut bersama dengan orang-orang yang merasa perlu untuk melindungi moral generasi muda menyampaikan keberatan mereka ke Lembaga Sensor Film (LSF).
Tetapi penarikan film BCG dari pasaran juga menimbulkan protes dari Eksponen Pendukung Kebebasan Berekspresi (Ekspresi).
Ekspresi menyatakan protesnya terhadap pelarangan yang dilakukan beberapa pihak yang mengakibatkan ditariknya film BCG dari peredaran, pada jumpa pers yang diadakan di Teater Utan Kayu, Kamis, 26/8.
Pernyataan tersebut tidak hanya didukung oleh kalangan sineas dan pemain film, tetapi juga termasuk aktivis, seperti Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal, beberapa wartawan, mahasiswa maupun aktivis Hak Asasi Manusia (HAM).
"Seni" kembali dipersalahkan, coba ditarik dan diuraikan dari dua buah sisi yang berbeda serta sudut pandang yang berlainan.

Paradigma Seni

"Di Indonesia ada perbedaan pendapat tentang paradigma seni, sebagian mengatakan bahwa seni untuk seni atau seni untuk kreativitas sedangkan sebagian sisanya yang merupakan kaum agamawan berpendapat bahwa seni untuk ibadah atau seni untuk pengabdian kepada Tuhan," kata Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof.DR.H.M.Din Syamsuddin.
Dalam acara dialog dengan sebuah rumah produksi, Din mengatakan masyarakat umumnya beranggapan bahwa seni adalah salah satu wujud dari kebebasan untuk berekspresi, jadi ketika kalangan agamawan mengkritik suatu bentuk kesenian maka dibilang sebagai memasung kreativitas.
Padahal dalam "Four Freedom" yang pernah dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat, F.D. Roosevelt, pada 6 Januari 1941, kebebasan seni itu tidak ada, yang ada justru kebebasan beragama.
"Artinya, untuk berkesenian memang bebas tetapi bukanlah suatu kebebasan yang mutlak, jadi harus memandang norma-norma disekitarnya juga, jangan karena alasan ingin diakui kebebasan berkeseniannya tetapi justru melanggar kebebasan yang lebih mendasar yaitu kebebasan beragama," kata Din.
Pada kesempatan itu, Senin, 23/8, beberapa pemuka majelis agama bertemu dengan perwakilan dari sebuah rumah produksi untuk berdialog menyamakan visi dan persepsi tentang seni, berusaha mencari pemecahan terbaik tentang bentuk seni yang layak tayang di publik.
Produser sebuah rumah produksi yang ikut dalam dialog tersebut juga sempat menanyakan jenis film yang dapat diterima oleh kaum agamawan, karena jika terlalu banyak larangan yang tidak jelas dia khawatir film Indonesia tidak akan dapat berkembang.
"Liatlah film 'Children of Heaven' yang menang festival itu, kenapa tidak tertantang untuk menghasilkan film bermutu yang tidak bertentangan dengan norma, jangan seperti tayangan di televisi sekarang," jawab Din.
Selama ini, entah sudah berapa kali terjadi benturan dalam masyarakat yang diakibatkan oleh cara pandang yang berbeda tentang seni.
Ekspresi, menyatakan bahwa pelarangan tidak mencerdaskan bangsa Indonesia, dan hanya dalam kebebasan, para seniman dan pekerja seni bisa mengolah dan meningkatkan keterampilan, serta mutu karya mereka.
"Kami cemas, sekali alasan itu dipakai, ia bisa dimanipulasi dan disalahgunakan setiap waktu untuk memberangus kebebasan berkarya. Ini bukan saja membahayakan kebebasan berekspresi, namun pada gilirannya juga akan membahayakan demokrasi negeri ini," kata Riri Reza, sutradara film Eliana-Eliana yang dibintangi oleh Djajang C Noer dan Rachel Maryam.
Sementara itu Suprapto, wakil dari LSF yang hadir dalam pertemuan di Masjid Istiqlal, 23/8, mengatakan bahwa sebenarnya yang dikritik oleh masyarakat terutama adalah judul film itu.
"Pihak LSF meloloskan film tersebut karena selama ini sudah ada beberapa film Indonesia yang menampilkan adegan sejenis dan masyarakat tidak protes," katanya.
Akan tetapi, dia menambahkan, bisa juga dulu masyaraktat tidak protes karena mereka tidak tahu jika film tersebut menampilkan adegan seperti itu.
LSF akan lebih hati-hati lagi lain kali tetapi dengan adanya bantuan dari masyarakat yang telah jauh lebih kritis semua pasti lebih mudah," ujarnya.

Strategi Budaya

Berapa jumlah stasiun televisi di Indonesia saat ini? Setidaknya ada satu buah televisi milik negara, yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan sedikitnya ada sembilan buah televisi swasta yang mengudara.
Di antara sembilan televisi swasta tersebut ada beberapa buah yang mengudara selama 24 jam nonstop menyajikan berbagai jenis acara mulai dari informasi hingga hiburan.
"Industri televisi itu dari tahun ke tahun perkembangannya pesat, baik secara kualitas ataupun kuantitas, lihat saja acaranya makin beragam dari waktu ke waktu," kata Ketua Bagian Anak dan Keluarga MUI, Prof. Dr. Zakiah Drajat kepada ANTARA, Senin, 23/8.
Tetapi sayang seiring perkembangannya, televisi juga melalaikan beberapa hal penting, di antaranya yaitu nilai-nilai moral dan fungsi sosialnya sebagai suatu media yang mempunyai tanggung jawab untuk mencerdaskan masyarakat.
"Lambat laun televisi lebih cenderung sebagai media hiburan dan melupakan nilai-nilai pendidikan," kata Zakiah.
Menurut Zakiah, televisi sebagai media audivisual adalah suatu alat yang yang sangat efektif untuk mempengaruhi sikap generasi muda, terutama anak-anak.
Anak-anak itu relatif lebih mudah menerima informasi dari televisi, karena mereka melihat sekaligus mendengar
"Jika ingin manampilkan contoh yang buruk, misal adegan memukul, cukup katakan saja tidak perlu adegan berkelahi yang penuh darah itu ditampilkan karena adegan tersebut justru dapat dijadikan contoh bagi anak-anak," ujarnya.
Senada dengan Zakiah, Seto Mulyadi, pemerhati masalah anak yang lebih dikenal sebagai Kak Seto mengatakan bahwa tayangan televisi sekarang tidak cukup baik bagi anak-anak.
"Selama ini budaya kita yang salah sehingga anak hidup dengan telvisi lebih dari 10 jam sehari sehingga mereka memperoleh sampah informasi," katanya pada seminar Pengembangan Anak Dini Usia tingkat ASEAN, Selasa, 24/8.
Film BCG memang telah ditarik dari peredaran tetapi masalah tentang pro dan kontra tersebut entah sampai kapan akan selesai.
Pembahasan pro dan kontra pencekalan terus berlanjut, setidaknya pada Festival Budaya Jakarta 2004, 2/9, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia mengangkat tema tersebut dalam sebuah acara dialog.
Dan seperti yang dikatakan Din Syamsuddin, mungkin benar, sudah saatnya semua elemen bangsa duduk bersama untuk menyatukan visi tentang strategi budaya, agar seni tidak lagi dikambinghitamkan oleh orang yang berlindung dibalik kata seni untuk mencari hal-hal yang bersifat duniawi.
(T.KJ10/B/S005/B/S005) 02-09-2004 22:26:33
Database Acuan Dan Perpustakaan LKBN ANTARA

Nuk ka komente: