e diel, 17 qershor 2007

Little Prince

gue suka ngobrol sama Meschke karena dia pentasin "Little Prince", salah satu kisah favorit gue tentang seorang pangeran kecil yang kesepian, sangat kesepian

MELONGOK DUNIA BONEKA MICHAEL MESCHKE

Oleh Gusti Nur Cahya Aryani

Berawal dari infeksi telinga yang mengganggunya sejak usia lima tahun, kecintaan Michael Meschke terhadap dunia boneka terbangun.

"Waktu saya kecil, infeksi telinga itu sangat mengganggu, sampai kemudian untuk menghibur saya, ayah saya memberi saya beberapa wayang dari Birma. Wajah-wajah ceria yang saya temui itu memberikan kebahagiaan tersendiri dan itu menjadi awal perjalanan saya di dunia boneka," kata pendiri sekaligus sutradara Stockholm Marionette Theatre itu.

Menurut Meschke, sedikit banyak sejak saat itulah dia mulai berniat serius untuk menggeluti dunia boneka. Dan waktu pun berlalu sehingga di awal 2005 ini telah lebih dari 40 tahun, pria kelahiran Danzig, Jerman, 73 tahun lalu itu berkarya dalam dunia yang identik dengan anak-anak itu.

"Boneka memang identik dengan anak-anak tetapi saya merasa miris jika ada orang yang memiliki anggapan bahwa seorang seniman tidak dapat mengeksplorasi jiwa seninya hanya gara-gara memilih untuk berkecimpung di dunia anak-anak," ujar Meschke.

"Melalui boneka-boneka saya, terutama 'Little Prince', saya belajar banyak tentang cara untuk menyampaikan pesan-pesan sulit kepada anak-anak dalam bingkai seni yang menarik," ujarnya.

Dan Meschke membuktikan semuanya itu dalam setiap karyanya, entah itu repertoar, pertunjukan boneka, patung, atau pun teater yang telah digarapnya.

Beberapa karyanya yang mendapat pengakuan dan memperoleh tempat khusus dalam riuh dunia seni internasional, seperti "The Lonely Ear", "The Grand Macabre", "The Story of a Soldier" dan tentu saja "The Little Prince" menghantarkan Mesche pada anugerah professor kehormatan dari pemerintah Swedia di 1993. Ketika ditanya tentang animo generasi muda yang mungkin tidak sebagus dahulu terhadap pertunjukan boneka karena modernisasi yang mengakibatkan beberapa tokoh klasik boneka tergusur oleh pahlawan-pahlawan maya dari dunia "computer game", Meschke mengungkapkan beberapa pandangannya. "Modernisasi memang tidak dapat dibendung tapi itu justru menjadi suatu tantangan khusus bagi orang seperti saya agar tetap eksis, entah itu dengan menggiatkan 'workshop' atau meningkatkan mutu pertunjukan dengan memanfaatkan modernisasi itu sendiri," ujar pria yang beremigrasi ke Swedia bersama keluarganya sejak 1939 itu.

Keoptimisan dan dedikasi Meschke terhadap dunia boneka itulah rupanya yang membuat beberapa institusi di berbagai negara seperti, Indonesia, Perancis, Norwegia dan Thailand, sempat memanggilnya untuk membagi pengetahuan dan pengalamannya selama malang melintang di dunia yang penuh fantasi itu. "Kita perlu yakin dengan apa yang kita kerjakan, ketika saya memulai perjalanan saya di dunia boneka, bukan suatu hal yang mudah mengingat di Eropa boneka atau wayang bukanlah suatu budaya yang terlalu mengakar seperti di Asia, terutama Indonesia," kata Meschke yang sore itu mengenakan kemeja berwarna oranye terang.



Gantung Boneka

Lebih dari separuh hidup anak sulung seorang pendeta bernama Kurt Meschke itu didedikasikan pada boneka. Adakah dia berkeinginan untuk berhenti?

"Tidak, tapi ada saat di kala saya memang pernah berniat berhenti membawakan satu lakon yaitu 'The Little Prince', karena sudah lebih dari 25 tahun saya mementaskannya lebih di 15 negara," ujarnya.

Niat untuk berhenti tersebut tidak terwujud kala salah seorang sahabatnya, sutradara terkenal asal Swedia, Peter Oskarson memintanya untuk menciptakan versi baru dari legenda "The Little Prince".

"Saat itu, 2003, dia meminta saya untuk mencoba menggelar sebuah pertunjukan boneka yang berkolaborasi dengan para aktor. Saya bilang tidak mungkin, tetapi Peter memaksa saya untuk mencobanya," kata pria kelahiran 14 Juli 1931 itu.

Program itu ternyata membuahkan hasil yang di luar dugaan Meschke, para aktor yang disodorkan Oskarson dapat memainkan boneka-boneka itu dalam waktu hanya sekitar enam minggu.

"Mereka luar biasa. Hal itulah yang membuat sang pangeran kecil tidak jadi pensiun dan kini hendak menggelar tur Asianya yang ke dua setelah 30 tahun," kata Meschke.

Ditemui di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Selasa (22/2), Meschke mengatakan bahwa salah satu alasannya memilih Jakarta sebagai kota pertama yang disinggahinya dalam tur Asia keduanya itu adalah karena budaya wayang yang sangat lekat di Indonesia.

"Saat saya berkunjung ke Jakarta pada 1975 bersama sang pangeran kecil, saya bertemu dengan sekitar 2.000 dalang, menakjubkan," katanya.

Walaupun mengakui budaya wayang yang sangat mengakar di Indonesia tetapi Meschke mengaku tidak berniat untuk berkolaborasi dengan dalang Indonesia karena khawatir mengacaukan "pakem" wayang yang ada.

"Saya menghormati teknik dan tradisi yang ada di Indonesia, jadi saya tidak dapat berkolaborasi dengan mereka," katanya.



Sang Pangeran Kecil

"The Little Prince" yang diadaptasi dari buku karya penulis kenamaan Perancis, Antoine de Saint-Exupery dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 bahasa itu adalah karya favorit Meschke.

"Kisah yang sangat luar biasa bagi saya sehingga saya ingin selalu membagi kisah ini dengan banyak anak-anak ataupun orang dewasa di dunia melalui pertunjukan saya," kata Meschke yang telah mementaskan lakon tersebut sejak tahun 70-an.

Kisah tersebut bercerita tentang pengalaman seorang pilot yang harus melakukan pendaratan darurat di sebuah gurun. Di sana dia bertemu dengan seorang pangeran kecil misterius dari negeri 'antah berantah' nun jauh di luar angkasa.

Melalui pangeran kecil tersebut, sang pilot memperoleh banyak pemahaman dan perspektif baru tentang dunia, tentang hal-hal kecil yang sesungguhnya penting.

"Dalam 'Little Prince', ada suatu kisah tentang kematian yang cukup peka bagi anak-anak tetapi Antoine dapat menyampaikannya dengan baik, yaitu dengan mengatakan bahwa tiba saat sang pangeran untuk meninggalkan tubuhnya di gurun dan kembali ke bintang," katanya.

Keistimewaan dari pertunjukan boneka Meschke terutama terletak pada kemampuannya menggabungkan dunia boneka dan orang.

"Di kisah itu ada dua karakter yaitu karakter pilot yang merupakan sosok manusia nyata dan karakter pangeran kecil. Jika semua diwujudkan dalam boneka maka kita tidak akan dapat menangkap esensi yang mau disampaikan sang penulis. Itulah sebabnya saya mempertahankan karakter pilot yang manusia," katanya. Hal itu membuat Magnus Lindberg, pemain si pilot menjadi satu-satunya karakter manusia yang akan tampil di panggung diantara sekitar delapan orang pendukung acara.



Teknik Bunraku

"Untuk menghidupkan pangeran kecil, saya mengambil sedikit teknik Bunraku atau wayang Jepang sehingga anggota badan pangeran kecil dapat bergerak optimal," ujarnya.

Boneka pangeran kecil yang tingginya tidak lebih dari 60 centimeter itu pun dimainkan oleh tiga orang seperti laiknya Bunraku.

Selain Bunraku, Meschke tidak membatasi pergelarannya dalam satu teknik tertentu, dia menggabungkan teknik mengggunakan tali, tongkat dan bayangan dalam karyanya.

"Tidak ada batasan untuk menggunakan teknik khusus, saya memakai berbagai macam teknik untuk mendukung penampilan sebab tidak mudah menghidupkan sebuah benda mati seperti boneka yang tidak bernyawa," katanya. Menghidupkan boneka, agaknya itulah yang akan dilakukan Meschke dalam pertunjukan berdurasi satu jam yang penuh fantasi dan puisi, aktor dan boneka serta perjalanan menembus langit di TIM, 23-24 Febuari 2005. Walaupun secara teknik, boneka "The Little Prince" mungkin tidak akan seekspresif wayang golek Betawi Tizar Purbaya yang juga mengadaptasi teknik Bunraku, tetapi kolaborasi boneka dengan manusia dalam lakon seklasik "The Little Prince" memang cukup unik. T.KJ10 (T.KJ10/B/K002/K002) 23-02-2005 20:16:36
Database Acuan Dan Perpustakaan LKBN ANTARA

Nuk ka komente: