e diel, 17 qershor 2007

Kain Bentenan

Salah satu tulisan gue sewaktu masih sering bolak-balik ke Museum Tekstil Tanah Abang, tempat favorit gue untuk cari inspirasi memenuhi quota tugas bikin artikel.

SPEKTRUM/BUDAYA : KAIN BENTENAN, PUSAKA TERPENDAM MINAHASA

Oleh Gusti Nur Cahya Aryani

"...tidak ada satupun daerah di Indonesia seperti Minahasa yang kebudayaan kunonya sangat cepat hilang sama sekali."
Kutipan yang terdapat pada halaman tujuh dari buku Dr. Hetty Palm yang berjudul "Marcopolo-Ancient Art of The Minahasa", sekitar 1961, itu menjadi salah satu bukti ketika banyak orang Minahasa, Sulawesi Utara, yang tidak mengenal kain tradisionalnya.
"Masyarakat luas menduga bahwa Minahasa, tidak memiliki kain tradisional padahal daerah tersebut mempunyai kain bentenan, jadi wajar jika ada beberapa orang yang tekejut ketika kain bentenan dinyatakan sebagai kain tradisional Minahasa," kata Yessi Wenas, Penggagas Himpunan Seni dan Budaya Minahasa (HIMSA).
Salah satunya adalah Wakil Direktur Erasmushuis, Antje Vels Heijn, yang mengatakan sekalipun pernah ke Manado, Sulawesi Utara, tetapi dia tidak tahu jika Minahasa mempunyai kain tradisional.
Senada dengan Vels Heijn, Ryani, mahasiswa sebuah Universitas Swasta di Jakarta pun mengatakan bahwa dia belum pernah mendengar nama kain tradisional Minahasa sebelumnya.
Oleh karena itu kiranya tidak berlebihan apabila sehelai kain berukuran panjang 1.67 meter dan lebar 1 meter yang telah berusia lebih dari 100 tahun dan terpajang di salah satu "display" Museum Tekstil Jakarta, 15/9, memperoleh perhatian lebih dari para pengunjung.
Kain itu adalah koleksi Museum Nasional Indonesia yang merupakan satu-satunya kain bentenan di Indonesia, karena kain tradisional Minahasa itu diyakini telah lama punah atau hilang dari kebudayaan Minahasa.
Kain Bentenan adalah pusaka terkubur dari Minahasa yang menuntut diselamatkan oleh generasi penerus yang peduli. Data dari Museum Tekstil dan HIMSA menyebutkan, kain Bentenan telah lama menghilang dari kehidupan masyarakat Minahasa, bahkan di desa Bentenan, Sulawesi Utara pun sudah tidak dapat ditemui lagi orang yang mampu menenun kain itu.
Yessi mengatakan, di dunia ini hanya ada lima buah kain Bentenan, satu di Indonesia, satu di Museum Furvolkerunde Jerman dan sisanya di Museum Royal Tropical Institute Belanda.
Kain Bentenan ditenun di daerah pesisir Minahasa seperti Pasan, Ratahan, dan Ponosokan. Menurut sumber dari buku S. Pangemanan pada 1919, "Kerajinan Rakyat Minahasa", kain Bentenan terakhir ditenun sekitar 1900 di daerah Ratahan.
Kain Betenan yang ditenun dengan teknik tenun dobel ikat pakan, kain diikat lalu dicelup kemudian diikat lagi, menggunakan warna merah sebagai warna dominan.
Sementara itu motif geometri dan orang pada kain Bentenan diduga berasal dari kepercayaan masyarakat Minahasa pada saat itu, yaitu animisme.
"Zat warna yang digunakan adalah zat warna alami, dan beberapa jenis tumbuhannya masih dapat dijumpai di Sulawesi Utara," kata Yessi.
Dia mencontohkan, warna biru biasanya diperoleh dari pohon Taun, kemudian apabila ditambah dengan air kapur sirih, maka warna biru itu akan berubah menjadi hitam. Pengetahuan tentang kain bentenan selama ini hanya diperoleh dari data literatur.
Menurut Yessi, orang Belanda mulai menulis tentang kain ini pada 1870-an dengan menyebutkan bahwa dua komoditi utama Belanda adalah Emas dan kain tenun.
"Yang dimaksud dengan kain tenun ini mungkin kain tenun Minahasa yang diekspor melalui pelabuhan Bentenan," katanya.

Pasolongan Rinegetan

Kain bentenan tidak seperti batik yang tak lekang dimakan zaman. Kain tradisional Jawa mampu tetap eksis di tengah kemajuan industri tekstil Indonesia, kata Thomas Sigar, salah seorang perancang busana yang juga penggagas HIMSA.
"Alasan pasti mengapa kain Bentenan punah tidak ada yang tahu pasti, tetapi menurut analisis saya dari literatur hal itu terjadi karena masuk budaya baru yang dibawa orang asing," katanya.
Menurut Thomas, kain Bentenan dahulu merupakan kain yang sakral di kalangan masyarakat Minahasa, kain itu hanya digunakan pada upacara keagamaan.
Pada koran "Tjahaya Siang" terbitan 1880, sebelum kain Bentenan ditenun, si penenun wajib menyanyikan lagu "Ruata" yang artinya Tuhan.
Hal itu dilakukan agar kain Bentenan dapat ditenun sebaik mungkin, sehingga menghasilkan tenunan yang bagus dan halus sebagai simbol rasa syukur pada Tuhan.
Pada upacara keagamaan kain Bentenan hanya boleh dipakai kepala upacara keagamaan, Walian, dan Tonas. Walian dan Tonas memakai kain Bentenan sebagai atasan dengan cara melipat dua kain berbentuk persegi panjang dan melubangi bagian tengahnya untuk tempat memasukkan kepala.
Bagian tengah kain yang berlubang itu disebut "Sumolong", kemudian agar tampilannya lebih indah bagian bawah kain digantungkan lonceng-lonceng kecil dari tembaga yang disebut "Egetan".
Itulah sebabnya kain Bentenan tempo dulu yang dianggap sakral itu disebut sebagai "Pasolongan Rinegetan".
Kain Bentenan yang disimpan di museum nasional pun disebut sebagai Pasolongan Rinegetan karena dibuat sekitar 1850.
Menurut N. Graafland pada bukunya, 1889, ketika Pasolongan Rinegetan mulai diperjualbelikan secara bebas ke luar Minahasa, nilai kesakralannya mulai menurun, sehingga istilah Pasolongan Rinegetan diubah menjadi Bentenan karena kain itu dijual melalui pelabuhan Bentenan.
Thomas mengatakan, ketika Belanda mulai memasuki Minahasa untuk menyebarkan agama Kristen, orang Minahasa mulai merasa bahwa untuk sederajat dengan orang Belanda mereka juga harus bertingkah laku seperti orang Belanda.
"Untuk menyamakan derajatnya dengan orang asing, orang Minahasa meninggalkan kebiasaannya," kata Thomas. Salah satunya adalah ketika orang Minahasa mulai meninggalkan kain bentenan, karena mereka mulai "risih" memakai kain yang memiliki motif animisme.
"Ketika semua beralih ke kain pesisiran tentu saja kain Bentenan punah karena tidak ada lagi yang menenunnya, apalagi kemudian mata pencarian sebagian besar warga Bentenan juga beralih dari penenun menjadi nelayan," ujarnya.
Oleh karena itu, Thomas menambahkan, tidak heran jika sekarang warga Bentenan pun tidak banyak yang tahu tentang kain tradisionalnya.

Pusaka Terpendam

Kain bentenan adalah pusaka terpendam Minahasa, sehingga HIMSA merasa perlu berusaha keras menggali kembali kilau budaya kain tradisional Minahasa itu.
"Ada kebanggaan tersendiri ketika mengatakan Minahasa memiliki kain tradisional,' kata S. Ratulangi, salah seorang wakil dari HIMSA. HIMSA boleh berbangga ketika Juli 2004, Thomas Sigar mampu mereproduksi kain bentenan kembali, walaupun belum dapat dikatakan sepenuhnya mirip dengan kain aslinya karena perbedaan teknik yang digunakan.
Kain reproduksi karya Thomas dibuat dengan teknik tenun lungsi pada tahap awal ini karena apabila menggunakan tehnik tenun dobel ikat pakan membutuhkan persiapan yang lebih lama.
"Alat tenun yang saya gunakan hanya mampu membuat kain sepanjang 1.10 meter jadi saya kehilangan sekitar 0,5 meter, akibatnya motif kain bentenan hasil reproduksi lebih sederhana," kata Thomas.
Pada kain reproduksinya, Thomas tidak menampilkan beberapa baris ornamen atau detail yang kecil dan menggantinya dengan garis satu warna dengan maksud agar motif utamanya dapat ditampilkan seluruhnya. "Miskinnya data adalah hambatan utama dari pengembangan utama kain ini. Satu-satunya sumber saya cuma kain yang ada di Museum Nasional, lainnya hanya dari literatur yang hitam putih jadi terus terang saya kesulitan mencari referensi warnanya," ujar Thomas ketika menjelaskan alasan mengapa dia hanya menggunakan warna merah, hitam, biru, hijau, dan kuning.
Sampai saat ini Thomas telah menenun tiga jeniS kain bentenan yang diberi nama kaiwu pusaka, kaiwu pasolongan dan lalita di Troso, Jepara, tempat pertama kalinya Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dikembangkan pada 1970an.
Perbedaan dari setiap jenisnya terutama terletak pada detail motif dan warna dominan yang digunakan. Keunikan dan kekhasan kain bentenan, menurut Thomas terletak pada motifnya, bagaimana orang Minahasa mampu menerjemahkan motif kain Pantola dari India ke kain tradisional merupakan rahasia tersendiri.
"Selain itu kain ini relatif lebih halus dibandingkan dengan kain tenun pada umumnya sehingga adaptasi kain bentenan ke pakaian moderen sangat memungkinkan karena kain ini nyaman dipakai."
Senada dengan Thomas, Yessi dan para penggagas HIMSA yang lain juga sepakat bahwa salah satu cara untuk membuat kain bentenan eksis kembali adalah dengan cara mempopulerkan kain itu pada masyarakat moderen.
"Orang asing saja banyak yang mengambil motif tradisional kita dan kemudian mematenkannya, jadi mengapa kita tidak berusaha menggali budaya kita, pusaka kita, sebelum orang lain mengklaimnya," kata Thomas. (T.KJ10/B/S005/B/S005) 17-09-2004 22:26:43
Database Acuan Dan Perpustakaan LKBN ANTARA

Nuk ka komente: