e diel, 17 qershor 2007

Mranggi


Ada suatu desa di sudut Yogyakarta yang hampir seluruh warganya berprofesi sebagai Mranggi. Gue besar di Yogya, tapi ternyata gue baru tahu desa itu setelah merantau ke Jakarta. Silly.





SPEKTRUM/SENI : "MRANGGI", LEBIH DARI SEKEDAR SEORANG PERAJIN

Oleh Gusti Nur Cahya Aryani

"Curiga Manjing Warangka" adalah salah satu simbol akan lahirnya filosofi "manunggaling kawula Gusti" atau bersatunya abdi dengan raja, insan kamil dengan pencipta, serta rakyat dengan pemimpin sehingga tercipta hidup aman, damai, tenteram, dan bahagia yang tercermin dari hubungan antara keris dengan sarungnya.

Itulah sebabnya ketika berbicara tentang keris, senjata tradisional Jawa, mau tidak mau orang juga harus bicara tentang warangka atau sarung keris karena keris dan warangka adalah suatu kesatuan.

"Sebuah keris yang bagus sebaiknya juga memiliki warangka yang sepadan, sehingga nilai keris itu tidak berkurang," kata KRT. Hartonodiningrat, seorang Empu Keris kepada ANTARA, 12/10, Selasa. Empu adalah istilah yang digunakan untuk menyebut seseorang yang ahli dalam membuat keris.

Menurut dia, sebuah warangka yang bagus, nilainya bisa sama tinggi dengan nilai keris, tetapi sayangnya tidak cukup mudah menemukan seorang "mranggi" (pengrajin warangka) yang bagus.

"Saat ini tidak banyak anak muda yang cukup tertarik untuk menekuni keahlian membuat warangka keris, karena memang tidak mudah," ujarnya.

Oleh karena alasan itu juga, beberapa orang kolektor keris yang dijumpai pada acara seminar keris di Museum Nasional , Jakarta, 12/10, mengatakan, untuk memperoleh warangka keris yang tepat dari sisi bentuk, relief, bahan ataupun warnanya, bukanlah hal yang mudah.

Seorang mranggi, seperti laiknya empu harus memiliki pengetahuan luas tentang keris sehingga dia bisa menentukan warangka yang tepat untuk suatu jenis keris.

"Terus terang itu memang tidak mudah, saya yang sudah sepuluh tahun lamanya menjadi seorang mranggi saja belum bisa dibilang cukup ahli," ujar Sugeng, mranggi yang berasal dari padepokan Tosan Aji Joglo Semar.

Mranggi yang profesional lebih dari sekedar pengrajin biasa, karena dia tidak sekedar menguasai tehnik menempa besi dan mengukir kayu tetapi juga mampu melihat nilai filosofi dari setiap bahan yang digunakan.

Sebuah warangka dibagi dalam tiga bagian yaitu, pegangan, pendok atau penutup bilah keris, dan gandar atau penghubung antara pegangan dengan bilah.

"Karena memang cukup sulit, maka untuk membuat tiga bagian tersebut juga dibutuhkan tiga orang yang berbeda, tiap orang memiliki keahlian yang berbeda," kata Jaka Purnama, seorang mranggi yang mengaku hanya dapat membuat pegangan keris.

Secara sederhana warangka keris dapat dibedakan dari bentuk gandarnya.

Ada empat jenis gandar, yaitu Gayaman yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, Landrang untuk upacara adat, Sandang Walikat bentuk paling sederhana dari gandar dan Tengah yang menjadi ciri khas keris dari luar Pulau Jawa dan Bali.

Sedangkan nilai keris dapat ditentukan diantaranya dari pamor atau motif kayu pada pegangan dan gandar yang disebut pelet.

Bagi sebagian orang pelet dipandang memiliki "tuah" atau kekuatan mistis dimana setiap jenis kayu tertentu akan cenderung menghasilkan pelet yang khas.

Misal pelet jenis "Gandrung" yaitu motif titik hitam yang dipercaya membawa kepopuleran dan cinta, lalu "Dewaduru" yaitu motif garis gelap terang yang membawa keberuntungan dan "Ceplok Banteng" yaitu motif titik-titik hitam yang saling berdekatan dan dianggap mampu mendatangkan kekuasaan bagi pemiliknya.



Tehnik Pembuatan Warangka


Untuk membuat bagian pegangan dan gandar menurut Jaka, diperlukan keahlian mengukir dan penguasaan akan pelet sehingga dapat memunculkan pelet yang khas dari setiap jenis kayu.

Sedangkan untuk membuat pendok, mranggi terkadang memerlukan waktu yang lebih lama, apalagi pada jaman dulu ketika logam yang digunakan belum berupa lempengan tipis tetapi berbentuk balok yang perlu ditempa berulang-ulang untuk menghasilkan lembar yang tipis.

Sabar, seorang ahli pembuat pendok dari kelompok Jaka mengatakan, biasanya dia dibantu oleh dua orang untuk membuat pendok.

Pembuatan pendok diawali dengan memotong dan membentuk lempengan kuningan menggunakan cetakan dari besi yang disebut "sunglon".

Setelah diperoleh bentuk dasar dari pendok maka ke dalam bagian pendok yang berongga dimasukkan jabung yaitu sejenis damar yang tampak mirip aspal kental. "Tujuan dari penggunaan jabung adalah agar ketika pendok diukir tidak melengkung," kata Sabar.

Setelah proses pengukiran selesai maka pendok dibakar diatas api untuk mengeluarkan jabung yang telah mengeras.

Untuk tahap "finishing" atau penyelesaian, pendok yang tampak hitam itu lalu dibersihkan dan dilapisi dengan emas, kuningan atau perak sesuai pesanan.

"Setelah pendok siap setiap bagian dari warangka itu lalu dirangkai menjadi satu, terkadang ada juga orang yang menginginkan warangka keris dihiasi dengan batu mulia sehingga harganya pun mahal," katanya. Rata-rata setiap orang membutuhkan tiga hari untuk menyelesaikan tiap bagian, tetapi apabila motif yang dikehendaki relatif rumit dapat lebih lama.

"Terkadang untuk keris pamor tertentu yang belum kami miliki referensinya, butuh waktu lebih lama untuk mempelajarinya dahulu, atau jika bahan yang digunakan relatif langka, dapat juga membuat waktu pengerjaan lebih lama," kata Jaka.

Jenis kayu yang cukup langka diantaranya adalah kayu Timoho, Trembalo, Cendana Timor, Tayuman dan Nagasari.


Keahlian Turun Temurun



Jaka mengatakan, keahlian membuat sebuah warangka keris memang tidak banyak dikuasai orang tetapi di dusun Banyu Sumurup, desa Girirejo, kecamatan Imogiri, Bantul Yogyakarta, keahlian itu telah berkembang secara turun temurun.

Di tempat kelahirannya itu, sekitar satu dua kilometer dari makam raja-raja Mataram Imogiri, Jaka tidak sendiri, hampir semua orang penduduknya memiliki keahlian untuk membuat warangka yang diwariskan secara turun temurun.

Hampir di setiap rumah dapat ditemui contoh model warangka atau peralatan untuk membuatnya. Menurut Jaka, yang juga merupakan sekertaris desa ditempat itu, desanya memang merupakan pusat kerajinan warangka keris.

"Warangka di sini secara umum dibedakan menjadi dua, pertama yaitu warangka yang hanya merupakan produk kerajinan tangan sedangkan yang kedua adalah warangka yang memiliki nilai seni lebih," katanya.

Sedangkan tentang jenis warangka yang paling banyak diminati masyarakat, Jaka mengatakan, oleh karena secara umum keris dianggap berasal dari Jawa, tepatnya kraton Yogyakarta dan Solo, maka kebanyakan para pemesan warangka keris juga menginginkan gaya tersebut.

"Gaya Yogya dan Solo relatif sama satu sama lain, apabila terdapat perbedaan hanya terletak pada ukurannya saja, warangka keris gaya Yogya umumnya lebih kecil dari gaya Solo," kata Jaka.

Selain itu bentuk pendok gaya Yogya lebih bulat dan ukiran lebih kecil dibanding gaya Solo yang cenderung memiliki pendok pipih dan ukiran besar.

Ketika ditanya tentang harga setiap warangka yang dihasilkannya, Jaka mengatakan, itu sangat tergantung dari tingkat kesulitan, antara Rp1 juta sampai Rp15 juta.

"Untuk kolektor terkadang mereka menghendaki kayu yang digunakan tanpa diplitur atau dicat, jadi harus betul-betul halus pengerjaannya," katanya.

Warangka yang dicat atau diplitur disebut sebagai "sunggingan". Mranggi, Jaka menambahkan, lebih dari sekedar perajin, dibutuhkan seorang seniman sejati untuk menghasilkan sebuah warangka yang bagus, apalagi saat ini fungsi keris telah bergeser menjadi "artefak seni" bukan lagi senjata.

(T.KJ10/B/S005/P003) 21-10-2004 21:26:19
Database Acuan Dan Perpustakaan LKBN ANTARA

Nuk ka komente: