e diel, 17 qershor 2007

Tentang Trisna

Ini tulisan humaniora gue yang pertama, pengalaman pertama gue ngobrol ma anak-anak jalanan. Gue ga tahu bocah-bocah itu bohong ato tidak untuk semua jawaban yang mereka lontarkan, soalnya kadang mereka tampak rada ga nyambung.

TRISNA, GENERASI YANG TERSESAT DI SUDUT GELAP STASIUN

Oleh Gusti Nur Cahya Aryani

Malam belum lagi larut, 20.00 WIB, ketika sepasang kaki telanjang memasuki gerbong kereta api bisnis jurusan Jakarta-Yogyakarta sehingga meninggalkan jejak kaki penuh lumpur di tangga besi itu.
Di pintu masuk gerbong, pemilik sepasang kaki tersebut menatap sekilas kerumunan penumpang yang sibuk merapikan barang-barang bawaan sebelum kemudian dia bersimpuh di kursi terdekat.
Usianya mungkin belum lagi genap 10 tahun apabila menilik dari raut wajah dan tinggi tubuhnya yang tidak lebih dari 140 centimeter.
Sementara itu tubuh kurusnya yang terkesan kotor hanya terbungkus selembar kaos dan celana pendek dekil yang tidak lagi menyisakan warna aslinya, entah putih, kuning atau abu-abu sedangkan tangan kanannya menggenggam sebuah sapu kecil bertangkai biru.
Detik berikutnya bocah kecil itu mulai memainkan sapunya mencoba mengumpulkan kotoran di lantai gerbong kereta yang tampak bersih itu.
Bersih, karena sejauh mata memandang dari kursi nomor 1-A hingga nomor 20-D tidak tampak sehelai tisu bekas pun, yang ada hanyalah jejak noda bekas sepatu para penumpang yang lalu lalang.
Seakan tidak peduli, sambil berjongkok bocah kecil itu tetap "berlagak" membersihkan lantai dan koridor kereta.
Setiap usai memainkan sapunya di lantai depan kursi tertentu dia mengangsurkan tangan kanannya yang berkuku hitam itu untuk meminta upah dari penumpang atas "hasil kerjanya" itu.
Beberap orang penumpang kemudian memberikan sejumlah uang logam atau selembar ribuan ke tangan itu sebelum kemudian kembali dengan kesibukannya masing-masing seakan menganggap pemandangan seperti itu layak, menyaksikan seorang bocah keluyuran di gerbong kereta di hari yang tidak lagi terang. Sementara itu sejumlah orang yang tampak terganggu dengan tingkah sang bocah terlihat menyodorkan keping logam sambil menggerutu.
"Menyebalkan, sudah tahu lantai bersih masih juga berlagak menyapu, mana mintanya setengah memaksa lagi, tidak mau beranjak pergi kalau belum dikasih," kata Retno Astuti, salah seorang penumpang yang sibuk mengurus bayinya.
Tetapi seakan tidak peduli dengan gerutuan dari ibu itu, bocah lelaki berkulit coklat gelap tersebut tetap meneruskan kegiatannya. "Untuk beli makan, Bu, Pak," kata si bocah kepada setiap penumpang dengan ekspresi memelas.

Namanya Trisna
Trisna. Begitu, bocah lelaki itu mengaku ketika ditanya siapa namanya sekalipun dia tidak lagi ingat berapa usianya. Menurut Trisna, pekerjaan sebagai tukang sapu gerbong telah dilakoninya lebih kurang setahun lalu.
Dan detik berikutnya kisah demi kisah pun terlontar dari bibir Trisna. Tentang seorang kakak laki-lakinya yang menjadi pengamen, tentang ibunya yang seorang pengumpul barang bekas, dan sosok bapak yang tidak pernah dikenalnya.
"Tetapi sejak Pemilu Presiden kemarin saya sudah tidak pernah bertemu ibu dan kakak lagi," ujarnya.
Sewaktu pemilu kebetulan Trisna tinggal di stasiun Tugu Yogyakarta selama satu bulan dan siapa sangka ketika kembali ke Jakarta dia tidak lagi menemukan ibu dan kakaknya di kawasan Senen, Jakarta Pusat. "Ibu tidak ada lagi di sana, mungkin telah pindah karena dulu kami pun biasa berpindah-pindah," katanya ringan tanpa sebersit nada penyesalan pun dalam suara beningnya.
Menyedihkan melihat bola mata hitam itu tidak lagi menyisakan kerinduan sedikit pun pada sosok seorang ibu.
Tanpa ibu dan kakaknya, Trisna kini tinggal nomaden dari stasiun ke stasiun, tertidur melepas lelah di sudut-sudut gelap stasiun yang disinggahinya di antara derap kaki penumpang yang lalu-lalang dalam bising suara gerigi besi roda kereta api yang beradu dengan rel.
"Tidak selalu di Jakarta, kadang di Semarang, Surabaya, Yogyakarta atau Purwokerto tetapi paling suka di Yogyakarta karena dekat Malioboro dan banyak bule," ujarnya.

Menadahkan Tangan
Sedari lahir, bocah seperti Trisna mungkin memang hanya tahu bagaimana caranya menadahkan tangan untuk bertahan di dunia.
"Saya tidak bisa membaca karena tidak pernah sekolah, tetapi tidak ada gunanya juga saya bisa baca yang penting bisa makan," katanya.
Hidup di jalanan, beralaskan bumi dan beratap langit, beku oleh dinginnya malam yang menusuk tulang, serta panas terpanggang terik sinar matahari membuat slogan wajib belajar sembilan tahun dari pemerintah seakan lelucon belaka di telinga Trisna dan teman-teman senasibnya.
"Pokoknya bisa makan, kerja apa saja. Saya biasa minta-minta, mengamen di angkutan atau menyapu gerbong," ujar Trisna singkat sambil mengunyah sebatang coklat yang disodorkan kepadanya.
Jika sedang beruntung, menurut Trisna sehari dia dapat memperoleh uang sampai Rp15 ribu, tetapi jika sedang sial Rp5 ribu pun susah sekali memperolehnya.
Hidup seorang diri di jalanan bukan tanpa resiko, sekalipun mengaku belum pernah mendapat perlakuan kasar dari "preman" atau anak-anak yang lebih besar tetapi Trisna mengakui bahwa saat terberatnya muncul jika dia jatuh sakit.
"Kalau tidak enak badan, terkadang lapar seharian tapi tidak bisa cari uang," ujar Trisna polos.
Dan kisah demi kisah tentang kehidupannya yang tampak sia-sia untuk dijalani pun terus meluncur dari mulut Trisna tanpa sepatah kata duka dan penyesalan pun terucap.

Berlagak Dewasa
Trisna tidak sendiri, dia mengaku banyak anak-anak seusianya yang juga tinggal di jalanan tanpa orang tua atau saudara, menyandarkan hidup pada belas kasihan orang yang lalu-lalang di stasiun.
Bocah-bocah mungil itu adalah generasi bangsa yang hilang yang menatap polos pada tegaknya bangunan-bangunan megah dan mall-mall mewah yang terus bermunculan tanpa pernah mengerti arti sebagai anak bangsa.
"Saya bisa hidup seorang diri, tidak perlu ibu atau siapa pun. Tapi kalau cewek mungkin perlu juga," katanya dengan nada berseloroh ketika ditanya tentang kesendiriannya.
Trisna mungkin memang baru berusia sekitar 10 tahun tetapi dia telah berceloteh banyak tentang pergaulan bebas yang dilakoninya setahun dua tahun terakhir.
Melihat caranya bertutur, menatap pada bening bola matanya, dan jemari kotor yang merangkum permen dan coklat itu ke dalam mulutnya, sungguh Trisna hanya seorang bocah, sekalipun dia berceloteh banyak tentang pergaulan bebas yang dijalaninya.
Trisna, bocah itu berlagak dewasa karena lingkungannya memang menempanya untuk seperti itu. Dunia yang ditempatinya sedetik pun tidak pernah mengizinkan Trisna untuk bersikap laiknya bocah 10 tahun. Oleh karena itu ketika dua lembar uang Rp20 ribu diselipkan di jemari tangannya, Trisna setengah terburu-buru memasukkan uang tersebut ke dalam kantong celananya sebelum kemudian mengucapkan terima kasih singkat dan menghambur keluar gerbong meninggalkan lima pasang kursi yang belum lagi selesai "disapunya". Dan ketika kereta mulai beranjak perlahan, di antara ramainya orang di stasiun Pasar Senen malam itu, seorang bocah yang tengah dikerumuni anak-anak sebayanya terlihat melambai ke arah kereta dengan sebatang rokok terselip di bibirnya.
Dia adalah Trisna, seorang bocah yang memang dipaksa untuk dewasa atau hanya berlagak dewasa?
T.KJ10 (T.KJ10/B/K002/K002) 24-01-2005 19:37:30
Database Acuan Dan Perpustakaan LKBN ANTARA

Nuk ka komente: