e diel, 17 qershor 2007

Tato Mentawai


gue wawancara sama salah seorang "Sikerei" aka dukun dari Mentawai, serem, badannya penuh tatto.


MENEROPONG BUDAYA MENTAWAI MELALUI "URAI" DAN "TURUK" RITUAL


Oleh Gusti Nur Cahya Aryani


Suku Mentawai yang terkenal dengan tradisi seni melukis tubuhnya atau tatoo mendiami Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, yang terletak sekitar 100 km di sebelah barat Kota Padang, terdiri dari 40 pulau besar dan kecil.

Empat pulau besar non vulkanik yang dapat didiami manusia adalah Siberut (4.097 km2) di utara sebagai pulau terbesar, Sipora (840 km2) di tengah, Pagai Utara dan Pagai Selatan (1.870 km2) di bagian selatan. Tentang asal mula orang-orang Mentawai, tidak banyak yang tahu secara pasti, tetapi Suku Mentawai selalu menganggap bahwa nenek moyangnya berasal dari Nias, Sumatera Utara.

Keyakinan itu dilandasi oleh dongeng yang menceritakan bahwa pada zaman dahulu kala seorang Nias bernama Ama Tawe pergi memancing ke laut. Ketika sedang berada di tengah laut tiba-tiba terjadi badai yang menyeret Ama Tawe terdampar ke Pulau Mentawai di tepi pantai barat Pulau Siberut, tepatnya di daerah Simatalu.

Ama Tawe melihat banyak pohon keladi dan sagu tumbuh sendiri tanpa ada orang yang menanam dan merawatnya sehingga ia berniat menetap di situ. Ama Tawe kembali ke Nias untuk mengambil anak dan istrinya. Keberangkatan mereka ke tempat baru itu ternyata diikuti oleh banyak penduduk Nias lainnya yang ingin merantau ke Mentawai.

Tetapi para ahli rupanya berpendapat lain, menurut mereka orang Mentawai merupakan keturunan dari rumpun Melayu Polinesia dan merupakan gelombang pertama bangsa Asia Daratan yang datang ke Indonesia.

Pada Festival Art Suku yang digelar di Taman Ismail Marzuki, 16 sampai 19 Desember 2004, Suku Mentawai yang hadir untuk membagi kehidupan dan budayanya dengan masyarakat luas adalah mereka yang mendiami Pulau Siberut Selatan.

Menurut Ketua Panitia Festival Art Suku, Maria Darmaningsih, di balik lebatnya hutan tropis Siberut terdapat banyak kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang selama berabad-abad lamanya. "Lingkungan hidup seperti manusia, binatang, hutan, perbukitan, dan sungai-sungai merupakan kesatuan kehidupan di alam Siberut yang sekaligus merupakan roh kesenian," kata wanita yang turut dalam kegiatan survei sebagai persiapan festival.

Di Kepulauan Mentawai tidak ada gunung tinggi. Yang ada hanya perbukitan yang tingginya tidak melebihi 500 meter. Umumnya bertanah subur, datar serta berawa-rawa dengan sungai-sungai kecil, sehingga sarana perhubungan yang paling umum digunakan adalah melalui sungai.

"Mati hutan maka mati pula kehidupan. Tidak ada hutan maka tidak ada orang Mentawai," kata salah seorang Sikerei (pemimpin spiritual) Dusun Muntei Siberut Selatan, Aman Teukat, di Jakarta.

Menurut dia, dahulu sekalipun tujuh hingga delapan bulan tidak hujan, tidak pernah terjadi kekeringan, berbeda dengan kondisi sekarang, tiga atau lima minggu tidak hujan saja sudah kekeringan.

Secara tradisional, orang Mentawai di Siberut Selatan memiliki kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Arat Sabulunga di mana semua benda diyakini memiliki jiwa.

Oleh karena itu, mereka percaya jika memperlakukan benda-benda itu di luar batas kebiasaan, dapat berakibat ke dalam kehidupan, bahkan menimbulkan penyakit atau kematian.

Pada praktek berburu pun mereka tidak melakukannya karena sekadar untuk bersenang-senang tanpa mempertimbangkan keseimbangan alam. Itulah sebabnya saat hasil buruan tiba di Uma (rumah adat), dipukul sejenis alat musik dari kayu, obbuk dan bolobok untuk mengumpulkan saudara sesuku.

Kemudian daging hasil buruan dibagikan secara merata serta harus habis tanpa ada yang terbuang percuma. Aturan ini pantang dilanggar, karena dianggap bisa mendatangkan petaka sehingga jumlah buruan menjadi jelas takarannya. Orang Mentawai percaya, pelakunya akan dikutuk menjadi buaya, sebagai lambang ketamakan.

Dampak dari pelanggaran pantangan bukan saja diderita oleh satu orang, tetapi juga dapat menimpa kelompok atau marga yang tinggal dalam satu uma. Uma adalah sebuah rumah tradisional besar yang dihuni beberapa keluarga menurut garis keturunan ayah yang dipimpin oleh tokoh senior yang disebut Rimata. Agar dampak tersebut tidak berkepanjangan, biasanya masyarakat Mentawai menggelar ritual adat untuk menyucikan diri, uma dan lingkungannya yang disebut sebagai upacara pulaijat.

Selain ritual yang diselenggarakan untuk membersihkan diri, masyarakat Mentawai juga percaya bahwa ritual mampu mencegah malapetaka dan membina hubungan baik dengan kehidupan roh atau simagre agar dapat mencapai kebahagiaan sesudah mati di surga (laggai sabeu).

Bagi masyarakat Mentawai, upacara adat lebih dari sekedar sebuah ritual belaka tetapi juga merupakan media untuk berkesenian. Melalui ritual adat mereka mengekspresikan semangat berkeseniaannya dalam musik, tari dan seni sastra.

Itulah sebabnya seorang Sikerei atau pemimpin spiritual, tidak hanya menjadi penguasa wilayah gaib, tetapi juga seorang seniman. Dia dapat berperan sebagai penyanyi atau 'sipuurai' serta penari atau 'sipurutuk'. Sementara itu pakaian laki-laki Mentawai adalah kabit berupa celana yang terbuat dari akar pohon sedangkan yang perempuan memakai rok yang terbuat dari daun pisang hutan yang dikeringkan setengah kering dan dibuat berumbai dan dikenal sebagai 'lakok'.

Sisa dari keratan-keratan pakaian biasanya diambil sebagai hiasan. Gigi mereka sengaja diasah dan diruncing supaya tajam sedangkan tubuh dihiasi dengan tatoo tradisional yang digambar oleh Sikerei dengan menggunakan tinta khusus dari air tebu.


Urai Mentawai

Masyarakat Mentawai memiliki suatu bentuk nyanyian atau seni berolah vokal yang disebut sebagai urai. Urai dibedakan atas nyanyian ritual seperti Urai Simaggere (nyanyian jiwa) serta Urai Ukkui (nyanyian leluhur) dan nyanyian non ritual seperti Urai Goatbaga (nyanyian sedih) serta Urai Paoba (nyanyian cinta).

Secara umum masyarakat Mentawai lebih mengutamakan syair dalam urai, sehingga hanya ada satu urai yaitu Urai Popoet yang diiringi alat musik sebagai satu kesatuan. Sedang urai yang lain, sekalipun dilagukan dengan musik sambil menari, tetapi alat musik atau 'gajeuma' bukan menjadi bagian dari urai melainkan bagian dari tari atau 'muturuk'.

Jumlah urai ritual di Mentawai jauh lebih banyak dari urai non ritual karena semua mantra dari Sikerei berbentuk urai. Misal mantra untuk pengobatan yang disebut 'mulaggek' atau 'pabettei', mantra untuk memanggil roh atau 'simaggere', dan mantra untuk memuji roh leluhur atau 'ukkui'.

Urai ritual milik para Sikerei itu merupakan suatu mantra yang diwariskan secara turun-temurun sehingga syairnya bersifat tetap. Urai ritual itu biasanya diwariskan secara resmi oleh para Sikerei Siburuk atau para guru Sikerei kepada Sipukerei Sibau atau calon Sikerei pada upacara Mukerei yang bertujuan untuk melantik para Sikerei muda.

Karena masyarakat mentawai menganggap bahwa urai ritual besifat mistis maka tidak semua orang mampu menjadi Sikerei, tetapi hanya orang-orang tertentu yang memiliki bakat, keturunan Sikerei, atau mampu berkomunikasi dengan makhluk gaib.

Sementara itu syair pada urai non ritual tidak selalu persis sama, biasanya hanya tema saja yang sama tetapi syairnya dapat berbeda tergantung dari siapa yang membawakan, misal pada lagu-lagu yang bertemakan cinta kasih.


Turuk Mentawai

Turuk atau tarian bagi masyarakat Mentawai bukan sekedar tarian yang bersifat hiburan tetapi juga gerakan-gerakan melingkar oleh beberapa Sikerei ketika mencari roh atau simaggere orang sakit pada suatu upacara pengobatan.

Pada umumnya turuk diiringi oleh musik perkusi 'tuddukat' yang berupa tiga atau empat kentongan berdiameter satu hingga tiga meter yang disebut sebagai 'ina', 'katengan', 'tatoga 'dan 'tetektek tuddukat'. Tarian di Mentawai biasanya dilakukan dengan sikap tubuh penari yang hampir sama yaitu sedikit membungkuk dan kepala cenderung kaku menghadap ke depan mengarah ke bawah, mendatar dan ke atas sementara itu kaki penari dihentakkan ke lantai papan atau 'puturukat'.

Suatu fenomena khas yang hampir selalu ada pada turuk ritual Mentawai adalah peristiwa 'igobok' atau 'irorok', yaitu ketika sang penari mengalami kesurupan. Tarian-tarian yang berhubungan dengan makhluk gaib hanya boleh ditarikan oleh para Sikerei atau istri Sikerei.

Tarian ritual yang paling sering diselenggarakan adalah tarian yang digunakan pada upacara pengobatan sederhana atau kmulaggek'. Jika belum sembuh maka diadakan suatu upacara pengobatan besar atau 'pabettei' yang melibatkan tiga sampai enam orang Sikerei yang bersama-sama menarikan turuk lajjou untuk menjemput roh orang yang sakit.

Pada upacara tersebut para Sikerei membunyikan lonceng kecil yang disebut sebagai 'jejeneng' dengan satu tangan sementara itu tangan yang lain membawa piring berisi sesaji .

Walaupun sebagian besar tarian adalah milik para Sikerei tetapi masyarakat biasa juga memiliki tarian non ritual yang bersifat sebagai hiburan semata seperti tari menangkap udang, monyet dan elang. Tari-tarian tersebut berkembang dari adat kebiasaan sehari-hari.

(T.KJ10/B/K002/K002) 20-12-2004 21:22:35
Database Acuan Dan Perpustakaan LKBN ANTARA

Nuk ka komente: