e diel, 17 qershor 2007

Gender


tulisan untuk menyambut hari perempuan sedunia. tulisan gue ini ada yang bilang provokatif....gue ga tau provokatif dimana.
gender...??!


SETELAH LIBERTY, EQUALITY DAN FARTERNITY, PERLUKAH FEMININITY?
Oleh Gusti Nur Cahya Aryani
"Mari Rayakan Femininitas" adalah sebuah slogan yang diusung beramai-ramai oleh para perempuan sedunia pada peringatan Hari Perempuan se-Dunia, 8 Maret 2005.
Setelah tiga sandi "Liberty, Equality, Fraternity" (kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan), tampaknya para perempuan berencana untuk menambahkan istilah Femininity. Diakui atau tidak problema yang melingkupi perempuan di berbagai belahan dunia memang masih seputar pada permasalahan bias gender dan persamaan hak.
Kabarnya di negara sebesar dan semaju Amerika Serikat pun perempuan belum mampu berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan pria di berbagai bidang kehidupan. Hal tersebut antara lain terlihat dari bayaran aktris utama yang kabarnya masih berada di bawah pendapatan seorang bintang utama pria, padahal terkadang sang aktris harus melucuti pakaiannya dalam film, hal yang jarang menimpa para aktor. Dan ironisnya terkadang justru hal itulah yang membuat sebuah film laku keras di pasaran.
Terlebih lagi di dunia ketiga, di mana tindak kesewenangan terhadap perempuan lebih sering dijumpai sebagai suatu bentuk perlakuan diskriminatif yang cenderung mengarah pada kejahatan secara fisik.
Bukan hal yang baru apabila ketika dua kelompok atau negara bertikai maka anak-anak dan perempuan adalah korban terbesar yang jumlahnya seringkali dilupakan.
Entah berapa banyak anak-anak dan perempuan yang menjadi korban dalam peperangan atau menerima pelecehan secara fisik selama perang dan namanya tidak pernah terukir dengan tinta emas di tonggak-tonggak peringatan korban perang. Nama-nama itu seakan terlupakan karena mereka tidak bangun mengangkat senjata seperti para pria yang berjuang di medan laga.
Manajer Program dan Redaktur Jurnal Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan Jakarta, Mariana Amiruddin menyebutkan, mau tidak mau semua pihak mengakui jika potensi feminin dan maskulin ada pada setiap jenis kelamin, jika dalam berbagai zaman selama ini femininitas dianggap tak berdaya, sedangkan maskulinitas berkuasa di mana-mana.
Oleh karena itu, mengembalikan dunia pada "diri" pun menjadi tumpuan generasi sekarang dalam perjuangan gender. Penemuan diri menjadi dasar utama mereka menyikapi zaman. Perempuan yang menganggap usang meneriakkan hak-hak mereka dan lelaki yang sudah jenuh dengan dunianya. Dunia bergerak dalam suatu karakter individualis.
Merayakan femininitas, era di mana wacana pembedaan gender semakin kekurangan argumentasi, era di mana pernyataan diri menguak, setiap perempuan dan lelaki merayakan eksistensi mereka, maka tak mungkin lagi perempuan dihadirkan sebagai makna jenis kelamin semata.
Tetapi apa pun istilahnya Hari Perempuan se-Dunia adalah hari para perempuan untuk melihat kembali kehadiran dunia mereka dalam sembilan dekade terakhir tentang perjuangan kesetaraan, keadilan, perdamaian dan kemajuan.
Pahlawan Perempuan
Budaya patriakhis yang membentuk sebagaian besar masyarakat di seluruh belahan dunia yang telah memosisikan perempuan sebagai makhluk lemah yang harus dilindungi justru seakan menjadi sebuah bumerang bagi kaum perempuan.
Bukannya kemudian menduduki suatu posisi terhormat, label makhluk lemah tersebut justru memberikan suatu sugesti kepada semua orang bahwa perempuan memang lemah. Tidak dapat melawan jika dipukul karena tidak sekuat pria secara fisik, hanya diam jika diperlakukan tidak adil karena memang sudah sewajarnya pria memperoleh lebih.
Maka mumcullah bait lagu, "Wanita dijajah pria sejak dulu.....tetapi tidak jarang pria tunduk di sudut kerling wanita", di mana kekuatan perempuan dihargai dari kerling matanya. Label makhluk lemah yang berhati lembut tersebut apabila terus tertanam dalam benak setiap generasi yang muncul ke dunia dapat membuat kapasitas perempuan-perempuan tangguh seperti Cut Nyak Dhien, Eleanor Roosevelt, Betty Friedan, Margaret Thatcher, dan Indira Gandhi tidak pernah ada lagi.
Predikat pahlawan seakan hanya layak melekat pada sosok-sosok "macho" bernama laki-laki sehingga Derby Romeo dalam film Petualangan Sherina pernah bernyanyi, "Yang namanya jagoan nggak ada yang pake rok."
Perempuan dan Permasalahannya
Label makhluk lemah yang melekat kuat dalam benak setiap orang laiknya sebuah "scarlett letter" yang digunakan Demi Moore dalam film "The Scarlett Letter", juga diakui oleh salah seorang wakil dari Komisi Nasional Anti Kekersan terhadap Perempuan, Ir. Samsidar.
"Di lokasi pengungsian di Aceh, sangat jarang ada perempuan yang ditunjuk sebagai koordinator atau pemimpin suatu tenda pengungsi," katanya memberi contoh.
Menurut dia, para perempuan juga tidak memiliki cukup akses untuk mengeluarkan pendapat sehingga banyak permasalahan perempuan yang tidak teratasi.
"Persoalan perempuan seringkali dipandang sebelah mata, misalnya seorang ibu yang habis melahirkan harus segera kembali tinggal di tenda dengan kondisi minimal dan dipandang sama seperti orang yang sehat sehingga harus mulai melakukan aktivitas seorang istri," katanya.
Samsidar menambahkan, mungkin hanya ada sedikit orang yang memperlakukan ibu tersebut laiknya orang pascamelahirkan yang harus beristirahat.
"Belum lagi petugas distribusi bantuan yang kebanyakan pria mengakibatkan 'bargaining position' para perempuan yang tidak lagi memiliki saudara pria dewasa menjadi lemah, mereka rentan terhadap pelecehan," ujarnya. Samsidar yang telah bertugas di Aceh sejak Januari 2005 itu juga menyoroti ketentuan adat setempat yang mengharuskan dua orang berlainan jenis yang dipergoki sedang berduaan untuk dinikahkan segera sebagai suatu hal yang tidak berpihak pada perempuan.
"Ketentuan seperti itu rentan penyalahgunaan, misalkan ada seorang pria yang menyukai seorang perempuan maka dia tinggal kompromi dengan koordinator untuk menyelinap ke tenda perempuan, setelah dipergoki maka dia akan serta merta dinikahkan dengan pujaan hatinya, tanpa peduli si perempuan mau atau tidak," katanya.
Perempuan dan Perjuangan Perjuangan memang belum usai bagi para perempuan untuk memperoleh persamaaan hak dan kesetaraan karena tidak mudah mengubah apa yang telah tertanam dalam benak masyarakat. Bekerja keras untuk mengatasi permasalahan perdagangan perempuan dan anak-anak, penghentian kekerasan terhadap perempuan, perlindungan perempuan terhadap AIDS/HIV, serta pencegahan perempuan sebagai target korban di daerah konflik.
Tetapi yang perlu diingat, para perempuan juga wajib konsisten pada perjuangan kesetaraan haknya tersebut. Jangan berteriak ingin kesetaraan gender, sama hak dengan pria tetapi mengeluh kala harus berdiri di dalam bus kota sementara para pria duduk mengongkang kaki. Dan tampaknya semua pihak untuk sekali lagi diminta sepakat bahwa persamaan hak dalam isu bias gender memang hanya berbatas tipis dengan isu kodrati yang telah melekat selama berabad-abad.
Perempuan memang tidak sama dengan pria, tetapi sebatas mana perbedaannya? Itu adalah suatu pertanyaan besar yang selalu menggelayut di benak setiap individu saat isu bias gender merebak.
Sekali lagi semua diminta arif menerjemahkannya, dan momen Hari Perempuan Sedunia mungkin adalah saat yang tepat untuk merenung sejenak mengurai benang tipis yang melilit keduanya.
Dan seperti Mariana Amiruddin menyebutkan, setelah Liberty, Equality, Fraternity, bagaimana bila kita tambahkan Femininity?
(T.KJ10 (T.KJ10/B/K002/K002) 07-03-2005 22:21:24
Database Acuan Dan Perpustakaan LKBN ANTARA

Nuk ka komente: